Putusan Hakim Pengadilan Negeri Sungai Penuh Jadi Sorotan Publik

Lensainfo.id, Berita Kerinci – Putusan Hakim Pengadilan Negeri Sungai Penuh terkait kasus kepemilikan sebidang tanah di Desa Agung Koto Iman, Kecamatan Tanah Cocok, Kabupaten Kerinci jadi sorotan publik.

Dalam putusan Hakim pengadilan negeri sungai penuh, Kamis ( 26/5)2023), para tergugat selaku pemilik tanah bersertifikat tertanggal 20-03-1984 atas nama MUHD GAWI kalah dalam perkara perdata nomor 68/Pdt.G/2022/PN-Spn. Dan tergugat diminta mengembalikan sertifikat tersebut ke penggugat, sementara sertifikat tersebut atas nama pemilik orangtua dari tergugat.

Sehingga para tergugat menilai keputusan hakim janggal dan tidak adil dalam memutuskan perkara tersebut. Karena tanah objek perkara sudah dikuasai turun temurun sejak tahun 1930 hingga saat ini, dan sudah bersertifikat sejak tahun 1984.

“Kami menilai putusan hakim pengadilan sungai penuh yang diketuai oleh Muhammad Taufiq, S.H dan Rafi Maulana, S.H. dan Wening Indradi, S.H.,M.Kn masing-masing sebagai Hakim Anggota tidak adil dan menyalahi undang-undang. Atas putusan ini kuat dugaan kami ada mafia hukum dan mafia tanah di pengadilan negeri sungai penuh, ” kata tergugat Yunadi didampingi kuasa insidentil tergugat, Jumat (26/5/2023).

Selain itu para tergugat menilai pada putusan perkara tersebut terindikasi kuat dugaan adanya permainan hukum di Pengadilan Negeri Sungai Penuh, sehingga pemilik sertifikat tanah yang asli kalah di persidangan. Atas putusan ini pula, para tergugat akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi.

“Sekali lagi kami menilai putusan janggal dan aneh putusan pengadilan yang memenangkan penggugat dalam perkara perdata nomor 68. Apalagi bukti surat perjanjian yang diajukan penggugat hanya fotokopi. Tidak ada yang asli. Sedangkan hakim mengabaikan bukti dan fakta persidangan yang disampaikan oleh saksi tergugat bahwa di Desa Agung Koto Iman tidak ada tanah pusaka tinggi, tetapi tanah tersebut adalah tanah warisan yang turun temurun dari dulu dikuasai tergugat, ” jelas tergugat.

Dalam persidangan tersebut, para tergugat dan kuasa tergugat juga sudah menyampaikan bukti-bukti berupa sertifikat tanah asli yang diterbitkan BPN Kerinci, surat keterangan dan pernyataan dari Lembaga Adat Koto Iman yang ditandatangani oleh ketua lembaga adat dan pengurus lembaga adat yang menerangkan bahwa tanah yang menjadi objek perkara tersebut adalah warisan dari H Khatib kepada anak cucunya, bukanlah tanah pusaka tinggi. Serta bukti surat keterangan ahli waris tanah tersebut, dan bukti surat keterangan dari tokoh masyarakat serta warga lainnya.

“Jadi bukti- bukti asli sudah kami ajukan, dan dua orang saksi yang kami hadirkan dipersidangan yakni ketua lembaga adat setempat dan pengurus lembaga adat, itu kami nilai sudah kuat. Tapi hakim mengabaikan ini semua,” Jelasnya.

Dengan begitu, tergugat Yunadi menduga ada yang tidak beres dengan putusan Majelis Hakim pengadilan negeri sungai penuh dalam perkara ini. “Logika kami, jika putusan tidak sesuai dengan undang-undang, berarti wajar kami menduga terjadi sesuatu mafia hukum dan mafia tanah,” tukasnya.

Tergugat menginginkan penegakan hukum benar-benar ditegakkan, benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah. “Kami tergugat sudah menyampaikan 5 alat bukti di persidangan dan menghadirkan dua orang saksi fakta. Tapi semuanya diabaikan oleh hakim pengadilan negeri sungai penuh. Untuk itu kami menuntut keadilan, ” jelasnya.

Selain itu menurut tergugat, fotokopi surat dapat diterima dalam persidangan apabila dapat dicocokkan dengan aslinya, dan kekuatan pembuktiannya sama seperti surat aslinya. Akan tetapi bukti surat perjanjian dari penggugat ini tak ada yang asli.

“Sedangkan penggugat hanya melampirkan 3 alat bukti, satu di antaranya yakni surat perjanjian tapi tidak ada yang asli, hanya fotokopi. Kalau merujuk pada 4 yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menyatakan jika bukti surat berupa fotokopi merupakan alat bukti yang tidak sah. Sehingga putusan untuk memenangkan pihak penggugat dalam perkara perdata nomor 68 ini adalah putusan yang menyalahi undang-undang, ” kata tergugat

“Pada Yurisprudensi ada 4, bahwasanya bukti fotokopi itu tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah. Berarti disini kan terjadi keanehan, kenapa hakim menggunakan fotokopi menjadi bukti yang sah, ini kan bertentangan dengan undang-undang. Untuk itu Kami menilai hakim salah dalam memutus perkara ini, ” jelasnya

Sementara itu Pengadilan Negeri Sungai Penuh dimintai tanggapan terkait putusan ini belum memberikan keterangan, saat didatangi media di pengadilan negeri ruangan PTSP, petugas mengatakan bagian humas sedang berada di luar. “Nanti Senin ini bisa kembali lagi, ” ujar pegawai pengadilan negeri sungai penuh.

Untuk diketahui, sebelumnya perkara perdata sebidang tanah yang terletak di Desa Koto Iman sebelum pemekaran, atau Desa Agung Koto Iman, Kecamatan Tango setelah pemekaran sudah dikuasai tergugat sejak dulu, dan disertifikatkan tahun 1984. Namun pada tahun 2021 masuk gugatan dari Aidiah yang mengatakan tanah tersebut merupakan tanah pusaka tinggi, yang menjadi miliknua, hingga dilanjutkan ke persidangan. Dan dalam putusan itu hakim pengadilan Negeri sungai penuh memutuskan Niet Ontvankelijke Verklaard atau disebut sebagai Putusan NO, putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.

Namun pada 2022 Penggugat Aidiah kembali mengajukan gugatan tetapi saat itu gugatan dicabut kembali. Kemudian digugat lagi pada Oktober 2022, hingga keluar putusan hakim pada Kamis (25/5/2023) yang mengalahkan tergugat selaku pemilik sertifikat tanah tersebut.

Putusan inilah yang diprotes para tergugat perkara perdata nomor 68/Pdt.G/2022/PN-Spn, menilai putusan hakim tidak adil. Karena tergugat memiliki sertifikat dan 4 bukti lainnya yang jadi dasar pemilikan tanah tersebut. Bahkan tergugat akan melakukan banding di Pengadilan Tinggi Jambi dan hingga ke tingkat Mahkamah Agung RI. (*Red)